Sakit Hati? Salah Sendiri

Eka Wartana 13/12/2023 0
Sakit Hati? Salah Sendiri

Oleh: Eka Wartana

Setiap makhluk hidup pasti pernah merasa kecewa atau sakit hati.

Kecewa, sakit hati itu disebabkan oleh apa atau siapa?

Bukan siapa siapa…..

Kalau bukan oleh siapa siapa, salah siapa dong? Diri sendiri!

Kenapa?

Ini jawabannya, yang sepertinya aneh tapi masuk akal: karena dirinya memberi izin orang lain untuk mengecewakan atau menyakitinya.

Ini quote dari Mahatma Gandhi:

“Nobody can hurt me without my permission”

Dengan kata lain: “Nobody can hurt you without your permission!

Tak seorang pun bisa menyakiti Anda tanpa seizin Anda.

Sepertinya mudah sekali ya untuk tidak merasakan kecewa atau sakit hati. Tapi dalam prakteknya tidak semudah itu.

Kenyataannya, kebanyakan orang terlalu murah hati dalam memberi izin untuk menyakiti dirinya. Disindir sedikit, sakit hati. Dikritik, diberikan masukan yang baik (feedback) juga sakit hati dan marah. Belum lagi ketika difitnah, langsung marah dan ingin membalas dendam.

Mereka cenderung memberikan pembenaran atas sikap orang lain.

Semuanya berkaitan dengan emosi dan kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Orang yang mengaku beriman tahu dan sadar bahwa orang tidak berhak mengadili orang lain.

Dalam kenyataannya, orang selalu ingin menghukum orang lain yang dianggapnya bersalah. Padahal, yang berhak menghukum manusia atas dosa dosanya adalah Tuhan. Serahkan saja kepada Tuhan untuk menghukum atau tidak menghukum dia. Itu hak prerogative Tuhan.

Yang berhak menghukum orang atas kesalahannya (perdata maupun pidana) adalah hakim. Tanpa disadari, banyak orang yang merasa dirinya hakim. Mereka mengadili bahkan menghukum orang yang dianggapnya bersalah.

Itulah manusia……

Bagaimana caranya supaya bisa trampil untuk tidak memberi izin menyakiti?

Ada dua steps untuk itu:

  1. Kendalikan emosi. Selama emosional, logika akan macet. Ubah sudut pandang dengan memakai logika. Maka emosi pun akan mereda.
  2. Terapkan filter atas stimulus yang diterima.

Satu jenis filter yang bagus untuk dipakai adalah Socrates’ Triple Filter Test:

Truth, Goodness and Usefulness (Benar, Baik, Bermanfaat)

Kebenaran

Kalau apa yang kita dengar, alami itu tidak benar:

  • Jangan emosi dulu, tetap kendalikan diri
  • Berikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi
  • Boleh menyakinkan tapi tidak perlu berbohong.
  • Kalau toh orang itu tidak mau mendengarkan, ya abaikan saja dia.

Bagaimana kalau yang disampaikan itu benar? Ya, akui saja dengan jujur. Kalau perlu meminta maaf dengan tulus.

Kebaikan

Kalau yang kita terima itu tidak baik, abaikan saja. Menerimanya hanya akan mengeruhkan suasana. Hal baik tentu perlu diterima dengan baik pula.

Bermanfaat

Apakah itu bermanfaat? Kalau iya, ambil manfaatnya untuk kebaikan banyak orang. Kalau tidak bermanfaat, kita lihat lagi apakah ada pembelajaran yang bisa dipetik dari hal itu.

Jadi, ketika menerima hal hal yang tidak baik, tidak benar dan tidak bermanfaat, tetap tenang saja. Jangan sampai terprovokasi. Jangan berikan izin untuk membuat Anda kecewa atau sakit hati. Kendali ada di tangan sendiri kok…..

Sederhana, bukan? (nampaknya mudah, tapi tidak semudah menjalankannya)

Salam Relative-Contradictive,

Eka Wartana

Author:

Relative-Contradictive dalam Profesi, (pesan buku via WA ke: 081281811999)

Berpikir Tanpa Mikir – Terobosan Cara Berpikir,

To Think Without Thinking – A Thinking Breakthrough,

MindWeb-A New Way of Thinking.

Founder and Master Trainer:

The MindWeb Way of Thinking

Problem-Preventing, The Advanced Competency – The MindWeb Way

#relativecontradictive #problempreventing #tothinkwithoutthinking #berpikirtanpamikir #ekawartana  #karyaanakbangsa #aslikaryaindonesia #mindweb #izin #socratesfiltertest #baper

Leave A Response »