Berpikir MINUS = Menjadikan Diri KORBAN

admin 11/11/2016 0
Berpikir MINUS = Menjadikan Diri KORBAN

Berpikir Minus = Mengorbankan Diri

Oleh: Eka Wartana

Sudah banyak dibahas orang tentang berpikir minus dan bagaimana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain. Kali ini, yuk kita bahas dari sisi yang berbeda.

Kebiasaan seringkali membuat orang lupa. Kalau sudah terbiasa memakai istilah dalam Bahasa Inggeris, orang akan mikir dulu kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.

Pasti ada yang bertanya-tanya, “Berpikir Minus itu apa sih”? Begitu diterjemahkan kedalam Bahasa Inggeris, baru orang sadar:”Ooooh…..negative thinking toh….!”

Ketika ada pesan kepada teman tak terbalas, telpon tak terjawab, langsung saja muncul pikiran minus:”Dia sekarang sombong…., mentang mentang sudah kaya!” Padahal pesannya tidak ter-deliver atau HP nya lagi kecemplung kolam. Temannya itu sama sekali tidak bermaksud untuk sombong, ataupun mengabaikan pesan atau telponnya itu. Tapi dia sudah menjatuhkan vonis “bersalah” (guilty!) kepada temannya. Dia telah menghukum orang yang tidak bersalah!

Sekilas seakan hanya temannya yang dia jadikan korban. Padahal tanpa disadarinya, sebenarnya dialah yang menjadikan dirinya korban. Dia ‘merasa’ menjadi orang yang terabaikan, tidak bernilai dimata orang lain, tidak diakui sebagai teman dan alasan alasan lain yang membuat dirinya menjadi korban. Dirasakannya dirinya sebagai korban ketidak-adilan. Dia telah menghukum dirinya sendiri. Dia memusuhi dirinya sendiri. Kok mau, ya?

Disisi lain, temannya itu tenang tenang saja, karena memang tidak tahu dan tidak bermaksud buruk terhadapnya.

Bagaimana kalau pesan diterima temannya tapi tak berbalas? Ya, tetap saja kita tidak berhak menghakimi teman ataupun diri sendiri…. (kita bukanlah hakim, kok menghakimi….?). Bisa jadi dia sangat sibuk, atau sedang menghadapi masalah. Apapun alasannya, temannya itu punya hak untuk membalas atau tidak pesan orang lain. Kita bukanlah atasannya yang mengharuskan temannya menjawab. Dilihat dari sisi etika memang seharusnya orang membalas semua pesan orang lain. Namun, apakah kita “bertanggungjawab” terhadap orang lain yang mengabaikan etika? Ya, sudah, bersikap netral ajalah…..

Seorang karyawan merasa tidak senang karena ditegur oleh atasannya. Dia menganggap atasannya tidak suka kepadanya. Kasusnya dilihatnya dari sisi subjektif. Padahal atasannya bersikap objektif: yang salah ya salah. Dia menempatkan dirinya sebagai korban, padahal atasannya justru berniat baik, ingin supaya dia berubah! Infeksi perasaannya (inper, istilah baru saya) semakin bengkak (abses) karena dia menjadi semakin malas dan masabodoh. Akhirnya dia benar benar menjadi korban: korban dari dirinya sendiri. Bisa bisa bagian yang bengkak itu akhirnya diamputasi…….alias dia di PHK!

Ada lagi peristiwa dimana seseorang merasa tersinggung karena teman lamanya tidak menyapa dia ketika bertemu dalam satu acara. Dia masih mengenal teman lamanya itu karena penampilannya tidak banyak berubah. Tapi apakah temannya itu mengenali dia? Dia sudah sangat berubah, berambut putih, berkumis dan jenggot putih, wajah kurus dan keriput. Jadi, wajarlah kalau temannya lupa. Siapa yang salah? Gak ada, kecuali dirinya yang merasa tersinggung.

Jadi teringat lelucon di salah satu group WA. Sesudah puluhan tahun tidak bertemu, 3 orang pria janjian reunion dengan 3 orang teman ceweknya sewaktu SMA dulu. Mereka janjian di salah satu mall. Setelah waktu lama berlalu, mereka belum bertemu juga. Akhirnya yang pria menelpon:”Tadi kami sudah lewat di depan mall itu, tapi tidak melihat kamu. Yang ada cuma 3 orang nenek nenek keriput disana…..”. Jawab teman wanitanya:”Iya, kami sudah lama menunggu, ada sih yang lewat, tapi cuma aki-aki tua ubanan, keriput, dan jelek…..” Mereka masih membayangkan teman-temannya masih remaja, seperti dulu….

Ternyata, waktu bisa mengubah segalanya. Yang kaya saat ini, bisa menjadi tak berdaya nantinya. Yang keren saat ini, bisa jadi ‘kere’ nantinya. Tapi percaya gak, ada yang tidak berubah dengan waktu, yaitu cinta! (kecuali cinta palsu….). Banyak yang CLBK ketika usianya sudah lanjut. Karyawan ada masanya pensiun, tapi cinta sepertinya tidak mengenal masa pensiun, walau masih tetap mengenal jaminan hari tua…..! (Iya dong….orang perlu mencari pasangan yang mumpuni, kalau gak makan apa nanti….?).

Pembelajarannya…..

Kiranya kita jangan terlalu baper (bawa perasaan), supaya nantinya tidak menjadi beper (beban perasaan), apalagi menjadi koper (korban perasaan) sampai ke inper (infeksi perasaan). Bermain dengan sedikit balog (bawa logika), memudahkan kita bersikap netral dan adil. (asal jangan ‘log’ yang lain: goblog aja….ha ha ha).

Kiranya lebih baik menerapkan azas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sampai ada klarifikasi, apa yang sebenarnya terjadi. Sesudah itu, siapapun yang bersalah, bukankah lebih baik saling memaafkan?

Perasaan jengkel, marah, benci adalah racun yang lebih ganas daripada cyanide, yang meracuni pikiran, yang menjadi beban seumur hidupnya, dan yang tanpa disadarinya juga menutup pintu rezekinya……baik langsung maupun tidak langsung.

Catatan: Saya menulis artikel ini bukan berarti saya tidak pernah berpikir minus lho…. Namanya juga manusia (ini excuses….!). Hanya berniat sharing aja untuk mengurangi ‘racun-racun’ pikiran…..

 Salam Berpikir Tanpa Mikir,

Eka Wartana

Penemu The MindWeb Way of Thinking, Berpikir Tanpa Mikir.

Penulis buku Berpikir Tanpa Mikir ala MindWeb (sudah ada di Gramedia)

Professional Licensed Trainer.

mindwebway.com

 

Leave A Response »