Business Leader = Coach?

admin 28/03/2014 0

MENGAPA SETIAP PEMIMPIN BISNIS HARUS BISA MENG-COACH?

(Anthony Dio Martin – Bisnis Indonesia Minggu, 9 Maret 2014)

Belajar dari dunia olah raga, ketika pemainnya bermain dengan buruk mungkin yang harus dipersalahkan bukanlah pemainnya, melainkan pelatihnya. Begitu pun dalam dunia kerja, ketika karyawan yang tidak memberikan hasil maksimal mungkin sudah saatnya seorang pimpinan bertindak layaknya “coach”, berkata “Sayalah yang bertanggung jawab!”.  Sayangnya, banyak pimpinan yang tidak paham bagaimana caranya ia harus melakukan coach kepada anak buahnya. Banyak diantara pemimpin ini adalah pemain alamiah yang tidak dipersiapkan. Akibatnya mereka “kagok”, “tidak tahu”, “bingung”, “sungkanan”,  atau bahkan “terlalu agresif” saat melakukan coaching.

Nah bicara soal coach dalam dunia olah raga mungkin kita masih ingat sewaktu acara Sea Games Myanmar di tahun 2013. Saat itu Myanmar bertanding melawan Indonesia. Hasilnya, Indonesia menang 1-0. Hasil ini langsung membuat Myanmar tersingkir menuju babak semi final. Dan gara-gara hasil ini,  Myanmar langsung memecat pelatihnya yang berasal dari Korea Selatan, Park Sung Hwa. Padahal kontraknya belum selesai. Sebagai pelatih dia beralasan tidak tahun kalau sistem yang dipakai di Sea Games adalah head to head (temu langsung). Padahal, Myanmar sudah mengantongi angka goal lebih banyak. Tetapi, karena kalah 1-0 dalam pertemuan langsung dengan Indonesia, Myanmar langsung tersingkir. Pelatihnya pun langsung dipulangkan, bahkan tidak dibayarkan sisa kontraknya!

Mengomentari soal pelatih dalam dunia olah raga, sangatlah menarik, tatkala Jose Maurino, pelatih sepakbola asal Portugal yang terkenal mengatakan, “Seringkali tidak fair. Kalau kalah, yang salah pelatihnya. Kalau menang, yang pertama dapat nama adalah pemain yang mencetak gol. Tapi itulah risiko pelatih!”

Dan memang, dunia olah raga rasanya tidak akan pernah bisa dilepaskan dari peran seorang coach. Lihatlah para atlit olah raga seperti Tiger Woods, petenis Andy Murray, Cristiano Ronaldo, dan masih banyak lagi masih tetap membutuhkan coach. Mengapa? Alasannya, sebenarnya sederhana. Setiap orang memiliki blind spot (daerah buta) dimana ia tidak bisa melihatnya tetapi butuh untuk diberikan masukan dan untuk perbaikan. Begitu pula hal yang sama dapat dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai coach di perusahaan. Siapakah dia? Paling tidak ya pemimpinnya.

Bagaimana Coach terkait dengan produktivitas?

Sebuah penelitian yang dilansir oleh Public Personnel Management di tahun 1997 mengatakan ternyata jika diberikan training saja, hasil produktivitas akan meningkat hingga 22 persen. Tetapi jika training yang telah diberikan ditambah pula dengan coaching terkait dengan apa yang dipelajari, maka kemampuan karyawan bisa meningkat hingga 88%!

Nggak diragukan bahwa coaching memang bermanfaat. Namun, tetap saja harus diakui bahwa tidak selamanya coaching bisa berguna. Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang peserta saya yang juga seorang pebinis yang mengikuti suatu sesi coaching bisnis. Menurutnya, “Setelah di coach sih jadi semangat, namun setelahnya saya sadar tidak banyak yang bisa dipraktkkan di tempat saya”. Nah, apakah sebabnya? Salah satunya, harus kta kembalikan pada formula kinerja tinggi (high performance).  Menurut, formula high performance di kantor ini:

HP = C1 x (C2 + C3 + C4),

dimana HP=High Performance;  C1=Clear Guidance; C2=Competence; C3=Commitment; C4=Climate. Apa maksudnya?

Clear guidance, bicara soal arahan yang jelas. Itulah peran seorang coach dan itulah sebabnya pula mengapa dijadikan sebagai faktor pengali. Masalahnya, dalam organisasi, petunjuk yang jelas dari seorang coach, ataupun pimpnannya adalah syarat tercapainya prestasi. Namun, setelah itu, masih ada factor lainnya yang juga berpengaruh yakni competence, kemampuan dari si karyawan itu sendiri. Juga ada factor commitment, khususnya komitmen dari karyawan itu sendiri untuk menjalankan. Dan juga climate, atau lingkungan yang mendukungnya untuk melakukan apa yang disarankan.

Jadi, ketika tidak terjadi kinerja yang tinggi, tidak selamanya karena kesalahan si coach ataupun si pemimpin pula, tetapi bisa juga dipengaruhi berbagai faktor lainnya.

Apa Yang Perlu Diketahui Pemimpin untuk Jadi Coach?

Ada sebuah hasil penelitian menarik di UK pada tahun 2007 yang diterbitkan oleh  CIPD Learning & Development Survey. Menurutnya, rata-rata orgasisasi yang disurvei, sekitar 67 mengharapkan si managerlah yang akan  melakukan coaching dan counseling.  Namun, selakanya, hanya sekitar 2% saja yang dilatih! Dan celakanya, dari 2% yang dilatih itu, sekitar 38% hanya mengikuti sesi beberapa saat soal bagaimana caranyamelakukan coaching dan habis itu tidak pernah direfresh lagi.

Lantas, pertanyaannya sekarang, apa saja yang perlu dipelajari dari seorang pelatih olah raga bagi yang perlu dalam melakukan coach di perusahaan?

Berikut ini saya ingin sharingkan salah satu metodologi coaching yang telah saya ajarkan bagi ribuan pemimpin di Indonesia. Yang jelas, model coaching ini pun sebenarnya terinspirasi pula dari dunia olah raga. Apa sajakah itu?

Pertama, harus kenali dulu siapa pemainnya (understanding people). Dalm hal ini, seorang pemimpinpun harus tahu dan kenal karakter serta kondisi pribadi orang yang dicoach

Kedua, harus tahu bagaimana cara bermain (understanding the task). Iya dong, bayangkan bagaimana mau melakukan coach kalau dia sendiri tidak tahu menahu soal job-nya. Termasuk, tahu bagaimana kondisi pekerjaan saat ini serta solusinya.

Ketiga, tahu bagaimana melakukan coachnya (undertanding the process of coaching). Kadang, banyak pemimpin yang tahu dan kenal dengan orang yang perlu dicoach tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Disinilah pentingnya pemimpin belajar langkah-langkah untuk melakukan coaching yang baik. Bicara soal proses ini, pada kesempatan ini, saya ingin men-sharingkan sebuah teknik coaching sederhana yang bisa dipetik dari dunia olah raga yakni GROW model. Nah, apakah GROW model ini?

Belajar Lakukan GROW Model

Pertama-tama, yakni Goal (tujuan). Kenali dan ketahui dulu, apa yang menjadi tujuan serta apa yang mau dicapai dari proses coaching yang akan dilakukan.

Kedua, bicara soal Reality (kenyataan). Pertanyaannya, bagaimanakah kenyataannya sekarang? Apakah bagus atau buruk, mengapa? Dalam hal ini perlu dibicarakan berbagai alasan yang melatar belakanginya.

Berikutnya adalah  Options (pilihan-pilihan).  Setelah mendengarkan kondisi sekarang, pertanyaan berikutnya, apakah  alternatif solusi yang tersedia? Coach harus membimbing ke arah solusi yang jelas.

Lantas, berikutnya adalah Way Out (jalan keluar). Pertanyaan akhirnya adalah apakah solusinya serta ke depannya harus bagaimana serta apa yang harus dilakukan?

So, kesimpulannya, tidak sepenuhnya coaching organisasi harus diserahkan kepada pihak luar. Khususnya jika itu menyangkut karyawan Anda. Justru sebagai pemimpin, Anda harus berlajar melakukan coaching kepada anak buah Anda agar mereka bisa perform dengan baik. Sebagai kata akhir, tatkala anak buah kita tidak becus, jangan-jangan kitalah yang tidak becus menjadi memimpin mereka!

(Anthony Dio Martin, Managing Director HR Excellency, Best EQ Trainer Indonesia, Host Program Radio SmartEmotion di SmartFM, twitter: anthony_dmartin, www.hrexcellency.com)

 

Leave A Response »