Oleh: Eka Wartana
Seorang teman cerita tentang suaminya. Suaminya mendapat kesempatan promosi di kantornya. Tapi dia ragu menerimanya, khawatir bagaimana kalau nanti gagal. Dia kurang percaya diri.
Komentar saya kepadanya:
- Dia dipilih karena dianggap mampu oleh atasannya. Sebenarnya dia sudah siap mengemban tugas baru itu.
- “Keberuntungan akan datang ketika persiapan bertemu dengan kesempatan” seperti quote filosof Seneca. Persiapan sudah (menurut atasannya). Kesempatan ada, sekarang! Kalau tidak diambil maka keberuntungan akan sirna begitu saja.
- Ketika pensiun nanti, dana pensiun dihitung dari gaji terakhir. Peningkatan karier (dan gaji) saat ini memperbesar dana pensiun nanti (memang masih jauh tapi penting, not urgent, but important)
- Segala hal yang baru sering ‘terlihat’ rumit, gelap, dsb. Kenyataannya seringkali tidak separah yang diduga.
“Mumpung ada kesempatan, ambil”, kata saya. Akhirnya, dia yakin dan menerima tantangan itu. Kehidupannya semakin sejahtera setelah itu. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dimanfaatkan?
Kisah diatas itu bukanlah aji mumpung, tapi mumpung: membuat keputusan ketika ada kesempatan. Aji mumpung lebih bersifat negative, untuk keuntungan diri sendiri. Kurang jelas?
Ini dia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
“Aji mumpung adalah pemanfaatan situasi dan kondisi untuk kepentingan diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu.”
“Arti lainnya dari (aji) mumpung adalah selagi” (semasih ada kesempatan).
- Mumpung masih muda, bekerja dan berusaha serius membangun masa depan
- Mumpung masih sehat, lakukan aktifitas yang bermanfaat
- Mumpung punya rezeki, berbagilah
Aji Mumpung
Kenyataannya, banyak orang yang berkuasa, memiliki jabatan memakai aji mumpung. Mereka memanfaatkan kekuasaan, jabatannya untuk mengambil keuntungan untuk diri dan keluarganya melalui KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Kesempatan mereka akan hilang ketika tidak berkuasa lagi. Karenanya mereka menumpuk harta dan fasilitas sebelum masa jabatannya berakhir. Tidak heran kalau orang suka berebut ‘kursi’ jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara.
Dalam skala yang lebih kecil kita lihat misalnya,
- Bertindak seenaknya ketika atasan tidak ada (santai, meninggalkan pos, dsb).
- Mumpung dapat fasilitas, pakai sepuasnya. Makan sepuas-puasnya mumpung gratis.
- Mumpung gigi belum rontok, makanlah yang enak (tapi jangan berlebihan)…..khusus untuk orang tua.
Hal apa yang sering hilang ketika terjadi aji mumpung? Self-control! (kendali diri). Kalau sudah keenakan, orang sering menjadi lupa diri!
Lupa diri sering berakibat buruk pada akhirnya. Yang korupsi masuk penjara. Yang mengumbar nafsu sexual, hartanya terkuras, keluarganya kandas. Yang mengumbar nafsu makan, penyakit datang. Yang mengumbar nafsu berkuasa, menderita post power syndrome sampai depresi ketika kuasanya habis atau tidak tercapai.
Sebaiknya apa? Mawas diri……jangan berlebihan….
Salam Problem-Preventing,
Eka Wartana
Author:
Relative-Contradictive dalam Profesi, (pesan buku via WA ke: 081281811999)
Berpikir Tanpa Mikir – Terobosan Cara Berpikir,
To Think Without Thinking – A Thinking Breakthrough,
MindWeb-A New Way of Thinking.
Founder and Master Trainer:
The MindWeb Way of Thinking
Problem-Preventing, The Advanced Competency – The MindWeb Way #relativecontradictive #problempreventing #tothinkwithoutthinking #berpikirtanpamikir #ekawartana #karyaanakbangsa #aslikaryaindonesia #mindweb #ajimumpung #mumpung #lupadiri #mawasdiri