Oleh: Eka Wartana
Polusi udara sudah semakin parah. Ada polusi lain yang tak kalah parahnya: polusi mental. Keduanya sama sama memprihatinkan. Hanya saja yang satu disadari yang lainnya kurang dipedulikan.
Polusi mental ini tidak ada hubungannya dengan revolusi mental. Tapi ada kaitannya dengan evolusi mental.
Polusi udara mengganggu kesehatan fisik. Polusi mental mengganggu kesehatan jiwa seseorang. Ironinya, polusi mental justru disebabkan oleh orang yang kondisi jiwanya ‘terganggu’. Jadi, mereka terganggu dan sekaligus mengganggu?
Apakah mereka itu sakit jiwa? Ya, enggaklah. Mereka hanya kurang stabil saja jiwanya, mudah dikendalikan oleh situasi dan emosi. Mereka sering sekali terlalu sensitive, baper dan secara sadar ataupun tidak, sering menyebarkan energi negative. Emosi itu bervibrasi ke orang orang di sekitarnya. Mudah marah, suka memelihara kebencian dan dendam, merasa iri hati terhadap orang lain, hobi menebar fitnah, hoax, saling berkompetisi secara kurang sehat, adalah ciri-ciri orang seperti itu.
Untungnya masih cukup banyak juga orang yang jiwanya sehat. Di jalan raya, kita bisa melihat dengan mudah, mana pengendara yang ‘sakit jiwa’ mana yang normal….. Tidak kalah serunya berbagai polusi mental yang bisa kita lihat di sosial media.
Polusi udara disebabkan oleh berbagai hal seperti: gas buang kendaraan, industri dan pabrik, pembakaran sampah, kebakaran hutan dsb. Apa penyebab polusi mental? Bisa karena adanya ketidak-stabilan emosi dan jiwa, atau karena adanya masalah besar yang dihadapinya. Kemarahan begitu mudah meletus, tidak mau kalah dengan perang jalur Gaza. Korbannya tidaklah senyata korban perang tapi tidak kalah banyaknya.
Untuk menghadapi polusi udara, orang memakai masker. Anehnya, dalam hal polusi mental, banyak orang yang memakai mask (topeng). Jenis ‘mask’ nya bisa macam-macam: kekuasaan, kekayaan, keberanian. Dibalik itu semua ada egoisme, kerakusan, kesombongan. Mereka memakai topeng, padahal yang dibutuhkan adalah filter.
Ada ajaran dari Stephen Covey terkait dengan hal ini. Ketika ada ‘stimulus’, jangan langsung memberikan ‘response’. Saring dulu ‘stimulus’ (aksi) yang diterima sebelum memberikan ‘response’ (reaksi).
Kita semua memiliki bagian dari otak (amygdala) yang memberikan pilihan response terhadap stimulus yang kita terima. Kita bisa ‘fight’ (melawan) atau ‘flight’ (kabur). Keduanya terkait dengan emosi seseorang.
Saya menyarankan agar emosi dan logika disinergikan. Maka saya membuat quote ini:
“Ketika kepepet masalah, saran orang:
FIGHT, FLIGHT atau FREEZE.
Itu semua terkait dengan faktor emosional.
Jangan lupakan factor logika: FIND options and FIX it !”
(The MindWeb Way)
Untuk menghadapi polusi mental, kita memerlukan ‘masker’ juga (bukan ‘mask’/topeng). ‘Masker’ nya gratis kok! Cukup menarik nafas yang dalam beberapa kali untuk menetralisir keadaan sambil menunda reaksi kita. Ketika emosi mulai menurun, maka logika pun meningkat. (ingat teori Pipa ‘U’ dalam buku Berpikir Tanpa Mikir).
Dengan demikian, kita siap untuk mengolah beberapa opsi dalam menghadapi situasi yang ada. Kendali berada di tangan kita sendiri. (Ketika sedang emosi, kita dikendalikan oleh situasi).
Salam Problem Preventing,
Eka Wartana
Author:
Relative-Contradictive dalam Profesi, (pesan buku via WA ke: 081281811999)
Berpikir Tanpa Mikir – Terobosan Cara Berpikir,
To Think Without Thinking – A Thinking Breakthrough,
MindWeb-A New Way of Thinking.
Founder and Master Trainer:
The MindWeb Way of Thinking
Problem-Preventing, The Advanced Competency – The MindWeb Way
#relativecontradictive #problempreventing #tothinkwithoutthinking #berpikirtanpamikir #ekawartana #karyaanakbangsa #aslikaryaindonesia #mindweb #egosentris #emosidanlogika #polusi #polusimental