Korupsi – Andil Kita Juga loh!
Oleh: Eka Wartana
Begitu banyak orang yang meneriakkan komentar anti korupsi. Lebih banyak lagi pelaku korupsi dan orang yang menikmati hasil korupsi.
Tanpa disadari, baik yang korupsi maupun yang anti korupsi mempunyai peran dalam “menciptakan” budaya korupsi, lho! Gak percaya, ‘kan? Tapi kenyataannya memang begitu kok. Mana buktinya……?
Yuk kita lihat kehidupan sehari hari dalam keluarga:
- Ketika si kecil menangis, diberi permen supaya berhenti menangis. Jadi, mereka bukan hanya disuapi makanan saja, tapi juga disuap supaya diam. Hal ini menjadi kebiasaan sampai dikemudian hari…. Selalu ingin disuap!
- Tangisan dijadikan ‘kartu As’ (senjata) oleh si anak untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Kalau keinginannya tidak dipenuhi oleh orangtuanya, dia menangis. Orangtua terpaksa (dipaksa) untuk menuruti kemauan anaknya. Sering saya lihat anak kecil menangis di mall, terkadang sampai berguling guling di lantai karena keinginannya dibelikan mainan tidak dikabulkan. Menyerah, orangtuanyapun memenuhi keinginan anaknya, supaya dia diam (disuap tak langsung). Anak kecilpun sudah pandai ‘bermain’ strategi lho!
- Ketika anak berprestasi di sekolahnya, mereka diberikan hadiah berupa handphone, uang, bahkan mobil. Tanpa sadar, motivasi mereka didasari pada materi, bukan yang lain seperti keinginan yang kuat untuk mencapai yang terbaik, untuk pembuktian diri. Iming-iming ini menjadi sesuatu yang selalu diharapkannya sampai ketika dia sudah besar.
Nah, nantinya sesudah besar dan menjadi pejabat, kebiasaan di suap semakin kuat, seiring dengan semakin nikmatnya suap yang dirasakannya. Ibarat air yang mengalir, selalu mencari cara termudah, demikian pula manusia. Yang satu ingin supaya masalahnya selesai dengan mudah (penyuap), yang satunya ingin memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah (yang mengharapkan suap).
Lalu gimana dong caranya supaya budaya korupsi tidak berkembang pada anak?
Beberapa hal yang kiranya bisa kita usahakan antara lain:
- Kalau dia menangis, kita tanya dengan penuh perhatian dan kasih sayang, kenapa dia menangis. Kalau tangisannya karena permintaannya tidak dipenuhi, perlu kita jelaskan kenapa kemauannya tidak bisa dipenuhi. Misalnya anak minta dibelikan ice cream padahal dia sedang batuk. Saya kira tidak ada salahnya menjanjikan untuk membelikannya setelah dia sembuh. Dan janji kita ini wajib dipenuhi. Kita mengajarkan komitmen dan dasar integritas pada anak. Kalau kita menggantinya dengan mainan misalnya, maka rasanya ada unsur ‘suap’nya juga, bukan….? (mengalihkan persoalan). Setiap menginginkan sesuatu anak akan menangis. Ini akan berkembang ketika dia menjadi (oknum) pejabat, yang setiap saat cenderung mempersulit orang, supaya memperoleh apa yang diinginkannya. Ungkapan umum: “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah….?”
- Kalau sudah diberi pengertian tapi dia tetap menangis? Saran saya, ya dibiarkan saja dia menangis. Disini dia belajar konsistensi dan assertiveness dari orangtuanya. Lain kali dia tahu bahwa ‘senjata’nya tidak mempan sehingga ‘tangisan’ tidak (bisa) dijadikan senjata lagi. Anak bisa jadi mencari cara lain yang lebih baik, misalnya dengan membujuk.
- Salahkah memberi hadiah atas prestasi anak? Syah saja sih. Tapi kiranya bukan sebagai janji atau imbalan, tapi sebagai apresiasi atas usahanya yang serius (serupa tapi tak sama ‘kan?). Motivasi terbaik kiranya memberitahu: Itu semua untuk masa depan mereka sendiri. (suatu saat orangtuanya akan meninggal, dan mereka berdiri diatas kaki sendiri). Tentunya ini tidak berlaku untuk sikap kita kepada pejabat.
Seringkali apa yang dilakukan diawal tidak memperhitungkan akibatnya dikemudian hari. Tidak disadari bahwa cara kita memperlakukan anak ketika kecil akan menjadikan dia sebagai orang yang mudah disuap. Contoh lain: ketika anak jatuh, orangtuanya menyalahkan lantai dengan memukul lantainya:”Lantai nakal!” Tanpa disadari, anak diajarkan untuk melempar kesalahan kepada orang lain (blaming). Sayang sekali, masih banyak orangtua yang “membela” dan “menghibur” anaknya dengan cara yang keliru.
Untuk memperbaiki hal itu, kiranya kita perlu mengembangkan consequential thinking, sejak dini. Anak diajarkan untuk melihat akibat dari setiap perbuatannya. Dan consequential thinking (berpikir dengan melihat konsekuensi dari tindakan kita) bisa dikembangkan dengan cara interkoneksi ala The MindWeb Way. Biasanya orang hanya melihat sesuatu secara terpisah sehingga hubungan hubungannya terabaikan. Dengan interkoneksi, kita bisa melihat apa saja hal hal yang terkait dengan suatu hal atau tindakan, apa saja yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu perbuatan.
Kesimpulan:
- OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK saja tidak cukup untuk memberantas korupsi. Kita memerlukan bukan hanya tindakan kuratif yang belum tentu efektif, tapi lebih penting lagi tindakan preventive.
- Mari kita cegah korupsi jauh lebih dini lagi, dimulai dengan cara kita mendidik anak. Anak kecil butuh disuapin makanan, tapi bukan di”suap”.
- Mengajarkan disiplin waktu dan tanggung jawab juga berperan mengurangi mental korupsi dimasa depan.
Artikel terkait:
Pungli dan Susu https://mindwebway.com/?p=1368
Anak, Kewajiban atau Investasi https://mindwebway.com/?p=1351
Salam Berpikir Tanpa Mikir,
Eka Wartana
Founder The MindWeb Way of Thinking, Penulis Buku Berpikir Tanpa Mikir ala MindWeb- A Thinking Breakthrough, Professional Licensed Trainer (MWS), Praktisi berpengalaman 33 thn dibidang Management