Sumbangan Rutin Jadi Beban Batin

admin 01/07/2016 0
Sumbangan Rutin Jadi Beban Batin

Sumbangan Rutin Menjadi Beban Batin

Oleh: Eka Wartana

Orang memuja muja perubahan. “You have to change!” Ternyata berubah itu tidak selalu baik. Yuk kita lihat contoh perubahan buruk seperti ini…..

Ada seorang dermawan yang secara rutin membantu seorang yang kurang beruntung. Setiap bulan diberikannya uang santunan buat orang itu. Orang miskin itu merasa senang sekali ketika menerima bantuan yang sangat dibutuhkannya. Doa syukurpun dipanjatkannya.

Suatu ketika, si dermawan mengalami kesulitan dana dan harus membayar utang utangnya. Oleh karenanya dia tidak bisa lagi memberikan santunan lagi. Orang miskin itu merasa sangat kecewa. Muka manis diawal langsung berubah menjadi muka asam. Rasa syukur diawal, berubah menjadi rasa kesal di akhir.

Perubahan tidak selalu positive. Sumbangan yang rutin diterimanya telah berubah bentuk menjadi kewajiban. Dimatanya, si dermawan harus dan wajib memberikan sumbangan terus menerus. Sumbangan rutinnya telah berubah menjadi beban batin!

Demikian pula yang terjadi dengan penganggur. Dia memohon mohon supaya diterima bekerja, dengan gaji “berapa saja”. Ketika diterima bekerja, diapun bersyukur tak habis habisnya. Tetapi sesudah bekerja, dia mulai lupa diri. Dia mulai menuntut kenaikan gaji dan fasilitas lainnya. Dia lupa bahwa selama ini keluarganya bisa makan karena gaji yang diterimanya setiap bulan. Rasa syukurnya telah hilang……termakan “inflasi”

Kenapa ya, bisa terjadi demikian? Sepertinya rasa syukurnya itu palsu adanya. Zona nyaman nya (comfort zone) sudah membuat dia terlena, terbuai. Bukankah rasa syukur itu perlu diperbaharui setiap saat kita menerima anugerah dari Tuhan melalui si dermawan? Bukankah si penerima bantuan seharusnya berusaha untuk bisa mandiri? Karena gengsi, dia tidak mau bekerja asal asalan. Tapi gengsinya lenyap begitu menerima santunan. Begitu santunan hilang, sikap santunnya pun lenyap!

Mestinya setiap orang menyadari bahwa kehidupan akan berakhir suatu saat yang tidak kita ketahui. Demikian pula dengan rezeki, santunan rutin bisa juga terhenti suatu saat nanti.

Itulah resiko bantuan rutin. Mungkinkah lebih baik bantuan itu diberikan sekaligus saja? Once for all? Itukah obat muzarab untuk menghilangkan beban batin penderma…..?

Si penderma menyesal karena tidak bisa meneruskan santunannya. Itu pada awalnya. Ketika sipenerima santunan merasa kesal…. diapun menyesal telah memberikan santunan…. Lalu, pahala nya kabur kemana ya….?

Pekerjaan rutin menghasilkan kebosanan. Sumbangan rutin ternyata menghasilkan kebosanan juga: bosan beryukur….. Oh, manusia….!

Salam Berpikir Tanpa Mikir,

Eka Wartana

mindwebway.com

 

 

 

Leave A Response »