Quiet Firing vs Quiet Quitting

Eka Wartana 12/12/2022 0
Quiet Firing vs Quiet Quitting

Oleh: Eka Wartana

note: This article is available in 17 languages.

Karyawan punya ‘senjata’ quiet quitting yang konon untuk menjaga work-life balance. Perusahaan tidak mau kalah, juga punya senjata: quiet firing. Karyawan diperlakukan sedemikian rupa supaya tidak betah dan resign. Perusahaan terbebas dari kewajiban membayar pesangon.

Quiet quitting dan quiet firing adalah istilah baru tapi bukan hal yang baru. Keduanya sudah sejak lama terlihat dalam praktik perusahaan. Dulu saya memakai istilah ‘silent strike’ (mogok diam diam) untuk karyawan yang kerjanya ‘secukupnya’ saja.

Seperti halnya quitting yang tidak dimaksud mengundurkan diri, strike di sini juga bukan mogok benaran.

Istilah quiet quitting dipopulerkan oleh Tiktoker Amerika, @zaidleppin seperti dilansir oleh BBC 31 Agustus 2022. Dalam videonya dia mengatakan bahwa “bekerja bukanlah kehidupanmu”

Sebelum membahas tentang quiet firing, ada baiknya saya share sedikit pengalaman kerja saya tentang quiet-quitting.

Sejak awal karier di tahun 1977, saya perhatikan cukup banyak karyawan yang bekerja seadanya. Mereka melakukan pekerjaannya tidak dengan ‘all out’. Mereka puas berada di zona nyamannya. Yang penting terima gaji setiap bulan. Tak terpikirkan oleh mereka bagaimana nanti masa depannya. Ini indikasi quiet-quitting juga, bukan?

Dari pengalaman itu, saya kira kita tidak bisa hanya melabel Gen Z atau Millennials. Contohnya, anak saya, Gen Z. Karakteristiknya bertentangan dengan quiet quitting. Dia sangat gigih dan selalu ingin mencapai performa terbaiknya.

Jadi, quiet-quitting bisa terjadi pada semua generasi dan tidak untuk semua orang.

Kelemahan quiet-quitter: tidak punya daya juang, tidak punya Grit (passions and perseverance)atas pekerjaannya, suka masa bodoh, tidak mau bekerja keras, hanya melihat jangka pendek saja.

Tapi tidak semua sikap itu kesalahan mereka. Bisa jadi pekerjaan yang ditugaskan kepadanya tidak pas dengan kompetensi, minat atau kompensasinya.

Mereka menuntut work-life balance. Dengan bersikap seperti itu apakah sudah balance antara ‘work’ dan ‘life’ nya? Bisa jadi malah unbalanced, kebanyakan ‘life’ nya dari pada ‘work’-nya. Justru dengan ‘work’ yang lebih berkualitas (tidak harus durasi lama bekerja lho), mereka bisa memperoleh ‘life’ yang lebih enak nantinya.

Supaya adil, boleh dong perusahaan juga punya ‘balance’ yang lain. Kita kasih istilah ini saja ya: ‘Compensation-Output Balance(‘life’: compensation, ‘work’: output/resut)

Hanya sebagian (kecil?) karyawan yang bekerja sangat serius, selalu berusaha meningkatkan kompetensinya, untuk mencapai performa terbaik. Dengan begitu, penghasilan merekapun meningkat. Mereka inilah yang sesungguhnya mewujudkan work-life balance mereka.

Quiet-Firing

Ini adalah salah satu langkah perusahaan untuk memberhentikan karyawan dengan cara halus. Tujuannya: untuk menghindari pesangon dan urusan dengan otoritas tenaga kerja. Bukan hanya perusahaan kecil lho yang melakukannya. Dari kenyataannya, perusahaan besarpun ada yang melakukannya. Mereka boros dalam promosi (iklan) tapi pelit membayar kompensasi.  

Quiet-firing ini dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya:

  • Tidak menaikkan gaji, bahkan menurunkan gaji dan fasilitas buat karyawan.
  • Tidak membayar uang lembur sesuai dengan jam lembur dan peraturan.
  • Memberikan pekerjaan yang jauh melebihi kemampuan karyawan tanpa apresiasi.
  • Tidak pernah melibatkan karyawan untuk berdiskusi, menolak semua usulannya tanpa alasan yang kuat. Dia dianggap sudah tidak ada perannya lagi.
  • Terus menerus mempersalahkan karyawan, secara sepihak.
  • Memindahkan karyawan ke bagian atau tempat yang tidak disukainya. Ada yang memindahkan karyawan ke daerah yang terisolir. Ada orang pekerja lapangan yang di ‘grounded’ di belakang meja, atau sebaliknya.

Karyawan menjadi tidak betah, lalu resign. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya.

Tapi quiet-firing bisa juga menjadi bumerang. Orang yang diperlakukan dengan quiet-firing bisa saja berubah menjadi aggressive dan dengan sengaja menimbulkan masalah. Akhirnya perusahaan terpaksa memberhentikannya dan membayar pesangon.

Biasanya yang menjadi target quiet-firing ini adalah para poor performer, karyawan yang performanya buruk. Yang quiet-quitter bisa jadi masih selamat, terhindar dari quiet-firing, sejauh kondisi perusahaan masih aman……

Baik quiet-quitting, maupun quiet-firing, keduanya tidak baik untuk kesehatan organisasi dan untuk keadilan. Sebaiknya serba terbuka, baik karyawan maupun perusahaan…….

“Quiet-quitting, quiet-firing is quite questionable in the organization”

(quiet dan quite, posisi ‘t’ mampu mengubah arti kata)

Related article: (silent striking) https://mindwebway.com/2022/05/30/perlakuan-tidak-fair-karyawansabotase-diri/

Salam Berpikir Tanpa Mikir,

Eka Wartana

Founder, Master Trainer: The MindWeb Way of Thinking.

Author: To Think Without Thinking (in English), Berpikir Tanpa Mikir, MindWeb (Indonesia & English Edition), Relative-Contradictive dalam Profesi, Relative-Contradictive dalam Kehidupan.

Professional Licensed Trainer (MWS International)

Over 33 years of experience in various managerial positions in well-known companies.

#tothinkwithoutthinking #berpikirtanpamikir #mindwebway #mindweb #karyaanakbangsa #karyaorisinal #ekawartana #relativecontradictive #quietquitting #quietfiring #grit

Leave A Response »