Antara Cukup, Puas dan Rakus
Oleh: Eka Wartana
Orang diajarkan supaya berhenti makan sebelum kenyang dan mulai makan sebelum lapar. Dalam keadaan seperti itu, cukup makanan yang masuk ke perut kita: tidak kekenyangan dan juga tidak kekurangan.
Apakah ajaran itu juga terpakai dalam perolehan rezeki?
Cukup
Apakah “cukup” itu bagus? Atau cukup bagus? Sebagian orang menjawab:”Iya!”. “Cukup” itu tidak selalu berarti bagus. Semuanya serba relative. Cukup apa dulu? Kalau “cukup menderita”, “cukup banyak utang”, gimana dong?
Orang yang lulus ujian dengan nilai “cukup” berarti pas-pasan. Karyawan yang performanya hanya “cukup”, tidak akan pernah mencapai posisi “pucuk” (puncak). Rupanya ada ya hubungan antara “cukup” dan “pucuk”. (cukup > pucuk)
Puas
Apakah kita puas dengan pekerjaan yang sekarang? Lagi lagi sifatnya relative dan “serba” ya? Serba salah, kalau dijawab “puas”, kita dibilang cepat puas. Kalau kita tidak puas, dibilang orang tidak mensyukuri, “rakus”.
Yang jelas, keinginan untuk meningkatkan level kepuasan dengan peningkatan prestasi adalah hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan supaya kehidupan kita tidak begitu begitu saja.
Banyak oknum pejabat yang merasa puas dengan penghasilannya sekarang, yang sebagian besar diperolehnya dari “suap” (puas > suap). Segala peluang yang mendatangkan uang di “sapu” nya bersih bersih, seakan ingin besar, bersaing dengan ikan paus. (puas > sapu > paus).
Ada yang mengambil jalan pintas: korupsi. Setelah tertangkap OOT (Operasi Tangkap Tangan….untung kakinya tidak tertangkap …) barulah dia meng “usap” air matanya (puas, suap, sapu, usap….)
Rakus
Seperti apakah orang yang rakus itu, ya……? Kayaknya seperti ini ya?
- Selalu merasa kurang, walaupun penghasilannya sudah berlebihan.
- Selalu siap merampas hak orang lain, demi memenuhi nafsunya.
- Terkadang mereka juga bisa menghargai apa “cukup” itu, tapi dalam arti yang lain: cukup untuk 7 turunan…..
- Biasanya penyakit “rakus” ini juga suka berkawan dengan post-power syndrome. Ketika berkuasa dia angkuh, gila hormat. Maka ketika kehilangan kekuasaannya, dia sangat terpukul. Dia selalu tergoda untuk kembali berkuasa, dengan segala cara: bisa dengan memakai uang hasil dari sikap serakahnya, bisa dengan memakai keturunannya supaya bisa berjaya tujuh turunan.
- Dia menghalalkan segala cara dan menghindari segala cara yang halal. Fitnah sudah tidak diperhitungkannya sebagai dosa lagi.
Tidak heran kalau kata “rakus” sendiri bisa bertransformasi menjadi “rusak” (moral dan imannya), menjadi “sukar” (membuat hidup orang lain menjadi sukar, susah), menjadi “kuras” (hobinya menguras uang demi kerakusannya), menjadi “kasur” (tergoda untuk “bermain” diatas kasur).
Pembelajarannya:
- Hendaknya kita tidak terlalu cepat puas dengan hasil kerja kita. Hasil kerja yang bagus akan mengundang hasil dana yang bagus juga.
- Namun selalu bersyukur akan apa yang kita miliki, yang kita capai. Itu semua adalah anugrah Tuhan.
- Selalu berusaha meningkatkan kemampuan diri demi pencapaian yang lebih tinggi, tidak sama dengan serakah.
- Sementara orang serakah merugikan orang lain, orang yang baik akan maju bersama orang lain.
- Rasa syukur akan ter-erosi oleh rasa iri dikala orang lain memiliki apa yang tidak kita miliki.
- Adanya keinginan untuk memiliki apa yang belum dimiliki, wajar wajar saja. Asal tidak menghalalkan segala cara dan tidak men-diskon rasa syukur akan apa yang sudah kita miliki.
Salam Berpikir Tanpa Mikir,
Eka Wartana
Founder The MindWeb Way of Thinking, Penulis Buku Berpikir Tanpa Mikir ala MindWeb, Professional Licensed Trainer (MWS), Praktisi berpengalaman 33 thn dibidang Management