Anak: Kewajiban Atau Investasi?
Oleh: Eka Wartana
Cukup mengherankan mendengar komentar orang tentang investasi pada anak. Biasanya orang ‘kan investasi pada saham, property, emas, dan lainnya.
Masih banyak orangtua yang menganggap anak sebagai investasi. Return (ROI, Return On Invesment) nya diperoleh nanti ketika orangtuanya sudah pensiun dan tidak mampu melakukan apa apa lagi. Si anak yang diwajibkan untuk membiayai hidup orangtuanya. Seakan si anak wajib untuk “membayar kembali” biaya yang sudah dikeluarkan oleh orangtuanya, ketika mereka sudah dewasa. Kalau si anak berhasil membangun kehidupan yang baik, mungkin tidak masalah. Tapi kalau nasib si anak kurang berhasil, bagaimana ya…..?
Tapi terlepas dari berhasil atau tidaknya anak, kiranya setiap orangtua tidak mengharapkan imbal baik dari anaknya. Anak yang baru membangun rumah tangga membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sehari hari anak-anaknya, selain kebutuhan mereka sendiri. Mereka mulai membangun masa depan bersama keluarganya. Tentunya ini bukan beban yang ringan buat mereka.
Nah, kalau mereka diberi kewajiban tambahan membiayai orangtuanya, tentunya beban mereka akan semakin besar. Padahal mereka juga perlu mempersiapkan masa depan anak anaknya. Belum lagi persiapan untuk menghadapi masa tuanya jikalau anak anaknya bernasib kurang bagus. Adilkah ini……?
Begitu banyak orangtua yang menggantungkan hidupnya pada anak anaknya. Tidak sedikit pula orangtua yang terlupakan oleh anak anaknya. Rupanya, pengaruh mantu cukup besar dalam kehidupan seseorang. Selain ada mantu yang sangat perhatian kepada mertuanya, ada juga mantu yang ‘alergi’ terhadap mertuanya.
Ada teman istri saya yang sudah berusia 77 tahun. Beberapa tahun lalu dia menyerahkan usaha bangunannya yang maju kepada salah satu anaknya. Selama beberapa bulan si anak mengirim urang bulanan kepada orangtuanya. Tapi setelah itu terhenti sampai sekarang. Sejak itu orangtuanya harus membanting tulang mencari nafkah melalui usaha tokonya. Galon minuman diangkatnya sendiri, supaya bisa menghemat biaya buruh. Kasihan sekali, bukan….?
Kiranya cukup masuk akal bila para orangtua tidak mengandalkan masa tuanya dari anak, tapi mempersiapkan diri sendiri untuk menghadapi masa pensiun, masa ketika usia sudah lanjut dan tidak mampu mencari nafkah lagi. Hal itu dimulai dengan tidak membebani anak anak dengan membayar ‘uang balas jasa’ dikemudian hari.
Sebaiknya anak anak dibiarkan membangun masa depan bersama keluarganya. Dengan demikian beban yang biasanya dipakai untuk membalas kebaikan orangtuanya, bisa mereka himpun untuk menghadapi masa tuanya sendiri. Seandainya nanti anak-mantunya melupakan orangtuanya, mereka tetap bisa hidup dengan tenang sampai akhirnya mati dengan damai.
Banyak cerita serupa yang dibicarakan orang, sehingga banyak orangtua yang memberi saran:”Jangan bagikan warisan selagi kamu masih hidup!”. Bukankah lebih baik kalau kita berikan warisan berupa ilmu dan integritas buat anak anak kita?
“Setan sering menggoda manusia melalui harta, yang membuat manusia lupa segala”.(The MindWeb Way)
“Rawatlah dan besarkanlah anak dengan tulus tanpa pamrih karena itu adalah kewajiban setiap orangtua. Janganlah mengharapkan imbalan dari anak karena itu bukanlah investasi dan bukan hak kita. Mengharapkan balasan hanya akan menghapuskan keikhlasan dan pahala kita”.(The MindWeb Way)
Salam Berpikir Tanpa Mikir,
Eka Wartana
Penulis Buku Berpikir Tanpa Mikir ala MindWeb (sudah beredar di Gramedia)
Agree pak Eka. My opinion, the best investment for the children are education and integrity…
Exactly, Pak Asril….. investment without expecting return from the the son, daughter.
Thanks for good idea pak Asril.