Dari “Need to Have” ke “Nice to Have”

admin 14/06/2015 0
Dari “Need to Have” ke “Nice to Have”

Dari “Need to Have” ke “Nice to Have

(Boleh dong berbeda pendapat……..)

Oleh: Eka Wartana

Need atau Nice to Have? Selama ini orang berpendapat bahwa kita harus memberi prioritas pada apa yang kita perlukan (Need) bukan pada sesuatu yang menyenangkan untuk dimiliki (Nice). Konon yang ‘Nice to have’ itu bukanlah sesuatu yang diperlukan. Begitukah? ‘Need’ itu hanya memenuhi kebutuhan saja, tapi ‘Nice’ bukan hanya memenuhi apa yang dibutuhkan, tapi juga memenuhi kebutuhan lainnya seperti kesenangan, kepuasan, kenyamanan. Mempunyai apa yang ‘Nice to Have’ memiliki derajat yang lebih tinggi. Bukan hanya terbatas pada kebutuhan fisik saja, tapi juga emosional, psikologis. Bukan hanya untuk masa sekarang tapi juga masa depan.

Bila kita hanya mengejar apa yang dibutuhkan saja, kita berada pada level mediocre kebawah. Jadinya, kita seakan cenderung mengarah pada scarcity mentality (mental keterbatasan). Tapi Nice to have mengarah pada abundance mentality (mental berkelimpahan).

Nice to have’ memiliki beberapa kelebihan daripada ‘Need to have’:

  • Kita berpikir ke masa depan. Nice to have mengarah pada kebutuhan dimasa depan, kebutuhan pada level yang lebih tinggi, diatas kebutuhan dasar.
  • Ada unsur motivasinya. Kita mengarah kepada hal hal yang lebih enak, lebih baik, lebih nyaman.
  • Nice to have membuka celah untuk kreatifitas dan inovasi.

Dulu, orang bilang personal computer bukanlah suatu produk yang ‘Need to have’. Apalagi untuk pemakaian dirumah. Ketika itu personal computer masih dianggap a ‘Nice to have’ product. Tapi sekarang……? Yang tadinya Nice, telah menjelma menjadi Need. Nice products menjadi kebutuhan (Need) dimasa depan. Fokus pada Need pada masa kini saja kurang mengembangkan kreatifitas dan inovasi.

Para penganggur merindukan pekerjaan. Pekerjaan apa saja boleh, yang penting asal bekerja! (He needs to have a job). Tapi pekerjaan yang seperti apa? Alangkah baiknya bila dia merindukan pekerjaan yang enak, di perusahaan yang bagus. Untuk itu dia harus mempersiapkan diri dengan lebih baik. Belajar lebih keras, baik hard skills maupun soft skills. Belajar bahasa asing, belajar tentang produk produk dari perusahaan perusahaan yang terkenal. Targetnya adalah untuk memiliki pekerjaan yang bagus dan menyenangkan di perusahaan yang besar, walau dimulai dari posisi yang rendah.

Orang yang mencari kerja hanya karena factor kebutuhan saja (Need), akan mengarah pada perusahaan perusahaan yang seadanya. Nantinya akan kecil pula kemungkinannya mereka bisa berkembang di perusahaan besar, yang menjanjikan gaji yang lebih besar.

Dalam hal berpikir, orang juga cenderung untuk asal berpikir, untuk memenuhi kebutuhan berpikir. Mereka terjebak pada cara berpikir tradisional yang melihat hal hal secara terpisah, satu per satu, tidak terkoneksi, dan mengandalkan hapalan. Mereka memerlukan satu cara berpikir baru, yang mampu memanfaatkan potensi luar biasa dari pikiran bawah sadarnya (subconscious mind). Yang mereka perlukan bukan hanya cara berpikir saja (Need to think), tapi a Nice way to think: memakai konsep interkoneksi yang terintegrasi dan holistic. Otomatisasi berpikir sangat memungkinkan orang untuk berpikir tanpa mikir.

Pandangan Need to have itu ibaratkan kebutuhan dasar motivasi manusia, maka Nice to have itu adalah pencapaian status yang lebih tinggi.

Akankah kita terpaku pada Need saja? Bukankah sudah saatnya untuk mengarah pada hidup yang Nice, yang lebih menyenangkan, kebih enak, lebih nyaman?

Bagaimana kalau kita kesampingkan kalimat Need to have dan memprioritaskan Nice to have. Atau paling tidak ambil jalan islah (gak kalah dengan parpol): To have a nice Need…..?

Salam MindWeb,

Eka Wartana

 

 

Leave A Response »