The Organizational Cost of Low EQ Employee
Bp Anthony Dio Martin, SmartEmotion, 7 March 2013
Banyak organisasi, perusahaan yang harus membayar mahal akibat rendahnya kecerdasan emosional para karyawannya. Mari kita lihat beberapa kasus kasus dibawah ini.
- Memukul pelanggan yang mengomel. Kasus ini terjadi bulan Februari 2012, disatu gerai fast
Ternyata ada yang merekam dan upload peristiwa ini ke Youtube. Akibatnya, gerai itu harus tutup beberapa bulan. Sampai sampai seluruh pimpinan perusahaan tersebut harus memuat permintaan maaf di Youtube. Kejadian diperparah karena adanya perbedaan etnis antara yang memukul dan dipukul
- Menegur atasan. Seorang atasan (wanita), menangkap basah seorang buruh sepatu sedang mengabsenkan temannya. Kartu absen itu dirampasnya. Si buruh menegur atasannya supaya lebih sopan dan berbicara baik baik. Malah dia mengingatkan si atasan, “Kalau cara ibu begitu ibu bisa di apa-apain bahkan bisa dibunuh”. Buruh itu bisa saja dilaporkan ke polisi dengan delik ancaman dan dihukum penjara.(Februari 2012)
- Menampar pelanggan. Pada 6 Feb 2013, seorang penjual HP menampar pelanggannya hanya karena terus menerus menawar, tapi kemudian tidak jadi membeli. Peristiwa inipun dimuat di Youtube.
- Menampar bawahan. Seorang manager perusahaan listrik di Prabumulih, Sumatera Selatan, memukul salah seorang assisten officer admnistrasi hanya karena merasa kesal dengan jawabannya. Ketika ditanya tentang tugasnya, si asisten mengatakan tidak sanggup. Pemukulan ini berlanjut sampai ke polisi. Karyawanpun stress dibuatnya. (Agustus 2012).
Kasus seperti diatas bisa terjadi diberbagai perusahaan. Dampaknya sangat besar pada image perusahaan, organisasi yang diwakilinya. Belum lagi dampaknya pada karyawan. Untuk mengubah kondisi seperti ini, para pimpinan perusahaan perlu lebih peka terhadap masalah emosional dan memberi contoh yang baik kepada karyawannya.
Kenapa perusahaan kurang memperhatikan masalah2 seperti ini? Karena, urusan emosi terlihat sederhana, tapi setelah masalah menjadi besar, baru disadari pentingnya pengelolaan Emosi. Organisasi harus menyadari hal ini sejak awal dan mulai melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan.
Catatan statistic yang dibuat oleh Christine Pearson (bukunya “The Cost of Bad Behavior”:
- 2/3 karyawan mengatakan kinerja mereka menurun disebabkan oleh rendahnya EQ atasannya. (tentu saja juga koleganya…? EW)
- 4 dari 5 karyawan menghabiskan banyak waktunya memikirkan perlakuan buruk yang mereka terima dari atasannya. (mereka lebih banyak nge-gossip daripada kerja…;-))
- 63% menghabiskan waktunya hanya untuk menghindari si pelaku, atasan.
- 3 / 4 mengatakan komitmen dan sense of belonging mereka pada perusahaan menjadi berkurang akibat dari perlakuan atasan yang bermasalah…..(toxic leaders….!)
- 12% resign alias berhenti karena tidak suka atau tidak tahan dengan perlakuan terhadapnya.
Masalah emosional ini, ibarat gandolan yang membebani organisasi untuk maju .
EQM Workshop
Info Workshop EQ paling spektakuler dengan 11 bonus gratis (test EQ, buku, CD, kalender EQ) berisi cara pasti untuk mengembangkan EQ Anda!
25-27 Maret 2013
Registrasi: 021-3862521
Biaya Biaya Yang Harus Dibayar!
- Wasting time. Banyak waktu dihabiskan untuk bergossip (membicarakan tingkah laku atasan yang EQ nya jongkok…..). Berkembangnya stress karyawan , hilangnya fokus, selalu dihantui ketakutan! Sampai sampai ada yang merasa setiap hari kerja akan dipanggil(paranoid). Setiap hari di absen, terutama kalau target tidak tercapai.
- Contagious Effect. Emosi itu menular (terjadi chain reaction, reaksi berantai. Karyawan yang kesel menularkan keselnya itu kepada temannya, seterusnya menular kepada pelanggannya. Bahkan tidak jarang juga menular ke rumah, istri dan anak menjadi sasaran (yang menularkan marahnya ke kucing…..maka ditendangnya si kucing!). Suasana kerja menjadi tidak nyaman. Kalau karyawan tidak merasa senang dan nyaman, maka hal itu akan berdampak pada pelayanan mereka kepada pelanggan.
- Loss of business. Seperti contoh kasus fast food diatas, karena kesal orang orang pada memboikotnya! Karyawan perlu dilatih untuk mampu mengelola emosi. Masih ada lagi “bumbu bumbu ” yang ditambahkan pada kasus fast food itu, dimana dimuatnya video tentang kejorokan proses kerja internalnya. Minyak yang tertumpah, terlihat diperas lagi untuk dimasukkan ke container untuk proses lanjut pemasakan makanan. Video ini belum tentu benar, tapi dampaknya pada kehilangan bisnis begitu besar, hanya karena ulah karyawannya.
- Deal with law. Kurangnya kecerdasan emosi bisa mengundang urusan hukum. Contohnya, kasus gerai fastfood yang lain, dimana seorang pelayan memukul pelanggan wanita dengan batang besi. Kasus ini berlanjut ke persidangan. Perusahaan itu telah kehilangan nama baik. (Oktober 2011)
Ini adalah Kehilangan Penting (menurut www.hr.com edisi April: Pelanggan, Uang, Orang, Waktu!
Tanda Tanda Low EQ Employee yang Merugikan Organisasi: 4 You.
- You Can’t Explain Yourself! Tidak bisa menjelaskan tentang ‘apa’ dan ‘kenapa’nya diri sendiri. Contohnya:
- Dia lagi stress, tapi tidak sadar kalau lagi stress! Kalau tidak tahu, bagaimana mungkin dia bisa mengelola stress nya?
- Ketika marah, dia tidak sadar kalau lagi marah! “Aku nggak marah!”
- Akibatnya: Karena stress, dia tidak bisa berpikir jernih. Proyek proyek baru diterima begitu saja dengan janji jani yang tidak menentu, tanpa disadarinya! Akibatnya: Proyeknya terbengkalai.
- You Can’t Help Yourself! Tidak bisa mengontrol diri sendiri
- Disaat sedang emosi, dia suka memaki dan memukul, tapi sehabis itu dia menyesal!
- Akibatnya: Dia telah membuat orang sakit hati, terluka ataupun dendam gara-gara apa yang dikatakan ataupun dilakukan!
- You Can’t Get It! Tidak bisa megerti dan memahami orang lain
- Seringkali tidak bisa mengerti orang lain. Empatinya hampa.
- Akibatnya: Tidak bisa bekerjasama dengan orang, tidak ada sinergi, proyeknya menjadi bertele-tele.
- You Don’t Care! Tidak peduli dengan orang lain.
- Egois, hanya focus pada dirinya sendiri.
- Akibatnya: Tidak ada ikatan batin, teamwork lemah
Tips: 5Re!
Re-Think, Re-Format, Re-Place dan Re-Act dan Re-flect!
- Re-Think: Memikirkan kembali, penyadaran ulang, dikasih tahu, diajarin,.
- Re-Format: Membunuh satu demi satu keyakinan yang salah ataupun penyebab di masa lalu yang berpengaruh buruk (dengan terapi). “Tanpa teriak teriakpun, bisa kok mencapai target”
- Re-Place: Menanamkan dan menawarkan altertif tindakan, mengganti kebiasaan lama.
- Re-Act: Melakukan, bertindak dengan cara dan pendekatan baru.
- Re-Flect: Melihat dan mempertimbangkan hasil tindakan yang baru.
Banyak organisasi yang tidak cerdas. Kalau begitu, bagaimana karyawan bisa cerdas?
IQ tidak bisa ditingkatkan tapi EQ bisa. EQ bisa ditingkatkan dengan mengikuti workshop EQM.
EQM: membekali peserta, bukan hanya untuk 3 hari training saja. Ada kalender untuk mengingatkan peserta sampai beberapa minggu kedepan.
Telpon/SMS
Berubah setelah ikut EQM. 7 thn lalu EQ jongkok. Mudah shock menghadapi atasan yang temperamen. Setelah mengikuti EQM dari Pak Martin, sadar untuk mengubah diri sendiri. (Bp. Ridwan). ADM: Mari belajar dari pengalaman Pak Ridwan. Banyak masalah serupa yang dihadapi oleh karyawan.
Cara mengatasi atasan yang bermasalah:
1. Tidak selamanya pimpinan disitu.
2. Bersikaplah sebagai seorang professional. Kita boleh tidak suka dengan orang itu, tapi mau tidak mau kita tetap harus berinteraksi dengan dia. Belajarlah untuk berinteraksi secara professional.
3. Don’t be sorrow, but grow. Jangan sampai merasa terluka atau frustasi tapi jadilah berkembang gara gara orang seperti itu. Atasan yang cerewet, keras malah akan membuat kita lebih tangguh dan lebih baik bekerja. Kita jadi tahu bagaimana menghadapi orang seperti itu.
Bagaimana mengubah EQ. ADM: EQ bisa dilatih dan bisa dikembangkan.
Interaksi radio Smart FM:
Telpon: 021 398 33 888
SMS: 0812 11 12 959
Tambahan dari Pak Martin:
Apakah Makin Tinggi Posisi Makin Tinggi EQ?
Kalau dibuat grafiknya, level EQ berdasarkan posisi (dari yang rendah ke yang tinggi), akan meningkat, kemudian menurun, seperti huruf U terbalik. Artinya: dari level staff yang rendah, lalu ke supervisor dan manager trendnya naik, tetapi pada posisi diatas itu levelnya justru makin turun. Menariknya: justru ke posisi makin eksekutif, level EQnya makin kurang!
Pertanyaannya: apakah kalau begitu kita justru nggak perlu EQ supaya bisa jadi CEO?
Pertanyaan ini diajukan oleh wartawan Newsweek kepada Travis Bradberry.
- Jawabannya justru sebaliknya. Best performersjustru punya EQ yang bagus. Jadi best CEO, biasanya punya EQ yang tinggi.
- Soutwest Airlines, punya Herb Kelleher
- Virgin Airlines, punya Sir Richard Branson
- Howard Schultz dengan Starbucksnya