Oleh: Eka Wartana
Sebagai manusia, kita sering sekali ‘dipermainkan’ oleh perasaan. Masih banyak orang yang baper (bawa perasaan) yang menjauhkan kita dari kebutuhan untuk bersikap assertive, mengatakan pendapat secara terbuka dan jujur.
Rasa tidak enak sering mendorong orang untuk tidak berbuat apa apa. Bahkan untuk hal hal yang salah sekalipun. “Ah, biarin aja deh!”
Dari pengalaman selama puluhan tahun sebagai praktisi, saya melihat adanya ajaran dan pelajaran yang ‘bengkok’ alias tidak benar. Sayangnya, banyak orang yang masih suka toleran terhadap salah kaprah yang terjadi. Sementara di pihak lain orang kurang toleran terhadap kepercayaan orang lain.
Terhadap hal hal, pengajaran, pengetahuan yang keliru, sikap orang berbeda-beda:
- Membiarkannya. Kenapa dia membiarkannya? Bisa jadi karena:
- Tidak tahu. Orang tidak tahu tak bisa disalahkan
- Tahu, tapi diam saja. Kalau menguntungkan, ngapain pusing?Biasanya dia mempunyai kepentingan sendiri.
- Tidak mau tahu. Dia merasa itu bukan tanggung-jawabnya.
- Merasa tidak enak. Dia khawatir kalau orang tidak suka dengan koreksinya. “Lebih baik cari aman aja”
- Meluruskannya. Cara ini biasanya dilakukan oleh orang yang berani mengambil risiko: tidak disukai, dibenci. Dia berkomunikasi dengan assertive. Dia ingin menyelamatkan orang lain dari pelajaran sesat. Ketika ada niat membiarkannya saja, hatinya berontak:”Harus diluruskan!”
Dari sisi lain, kenapa ada orang yang mengajarkan hal hal yang keliru? Hal itu dilakukannya karena sengaja atau tidak sengaja?
Bisa jadi ini sebabnya:
- Ketidaktahuan. Hanya mengutip dari orang lain dan tidak tahu kalau itu salah. Seringkali juga dia mengutip tanpa menyebutkan sumbernya. Mungkin ingin supaya ada kesan seakan itu ciptaannya sendiri, padahal itu karya orang lain. Lebih parah lagi kalau yang dicontek itu adalah “ciptaan” yang salah.
- Ego yang besar. Bisa jadi dia tahu bahwa yang diajarkannya adalah keliru, tapi demi promosi ‘produk’nya, tetap dipakainya. Bisa jadi dia berpikir:”Toh orang lain tidak tahu”.
Dalam hal ini ego-nya lebih berkuasa dari rasa tanggung-jawabnya. Orang yang tidak tahu dirinya dibohongi itu perlu ‘diselamatkan’ dari kesesatan.
- Yang bengkok itu menguntungkan. Dia memakai falsafah pancing. Kail yang lurus tidak dapat memancing ikan….. (memangnya orang lain itu ikan ya…?).
Ada kecenderungan yang sepertinya‘nyeleneh’ dalam hidup:
“Orang yang suka membengkokkan yang benar,
biasanya suka membenarkan yang bengkok”
Oh, iya ada satu lagi, yang masuk di akal:
” Memakai anak panah yang bengkok, sasaran tidak akan tercapai”.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk perbaikan sikap, jangan sampai banyak orang terjerumus dalam pelajaran yang salah. Bukan ditujukan kepada personalnya. Semoga artikel ini tidak disalah-mengerti.
Pembelajarannya:
Ketika menerima masukan, pengetahuan atau pelajaran, sebaiknya kita pertimbangkan hal berikut ini:
- Netralkan pikiran. Hindari kekaguman berlebihan yang membutakan logika. Sebaiknya seimbangkan dulu emosi dan pikiran. Jangan terpengaruh oleh nama besar orang agar kita tidak cenderung menerima begitu saja apa yang dikatakannya.
- Bersikap kritis tapi logis. Adakah hal hal yang kurang masuk akal? Bagaimana kalau dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
- Check and recheck. Dari mana sumber pengetahuan itu, apakah update dan bisa dipercaya.
Semoga lebih banyak lagi orang yang mengutamakan kebenaran dan etika daripada hanya mengutamakan materi (duit) dan mengabaikan kebenaran.
Salam Relative Contradictive,
Eka Wartana
Founder, Master Trainer, The MindWeb Way of Thinking
Author: Relative-Contradictive, Berpikir Tanpa Mikir, To Think Without Thinking, MindWeb
www.mindwebway.com
#mindwebway #mindweb #berpikirtanpamikir #ekawartana #relativecontradictive #meluruskan #bengkok #ego #risiko #tidaktahu #tidakmautahu