Mau Kulitnya atau Isinya?
Oleh: Eka Wartana
Ketika ada motivator yang bermasalah, kasusnya menyebar dengan cepat di media masa. Langsung saja orang antipati dan ogah menonton (kalau acaranya masih ada), bahkan ogah mendengar pembelaannya (tapi orang orang kok masih doyan banget mencari berita baru tentang kasusnya itu ya…. Itulah kekuatan gossip!).
Melihat kenyataan itu, muncul pikiran usil: Kenapa ya, kebanyakan orang suka mencampur-adukkan antara “kulit” dan “isi” dari suatu hal. Melihat kulit durian atau kulit salak, nampaknya kurang menarik karena kulitnya berduri (namanya juga durian, tapi bukan salakan….). Kulitnya gak suka, tapi isinya….? Suka banget, nikmat! Gimana kalau bunga mawar? Bunganya begitu indah sangat enak untuk dilihat. Tapi durinya itu loh! Kenapa namanya bukan bunga durian, ya…..? (#isengmode…)
Dalam hal durian dan mawar tadi, orang terfokus pada “isi” nya yaitu isi pangsa durian dan bunga mawar yang indah. Bukan pada duri-durinya.
Kontradiksinya, ketika berbicara tentang motivator, kok motivatornya terasa lebih penting dari materi yang disampaikannya, ya? Memang para ahli bilang, cara penyampaian lebih penting dari materi yang disampaikan.
Motivator yang sering membicarakan tentang kebaikan, diharapkan dia menjalankannya dengan benar didalam kehidupannya. Bila akhirnya diketahui bahwa apa yang diajarkannya ternyata tidak dijalankan olehnya, pendengarpun langsung mem-vonish: guilty (bersalah). Kenapa begitu ya? Rupanya masyarakat mengharapkan “isi” selaras dengan “kulit”nya. Faktor apa ya yang tersembunyi dibalik sikap itu? Bisa jadi sikap itu diepngaruhi oleh dua factor penting: moral dan trust (kepercayaan).
Pendengar memiliki pilihan:
- Mau kulitnya atau isinya? Lebih cenderung ke orangnya atau apa yang disampaikannya?
- Mengambil ilmu yang diberikannya tanpa terpengaruh oleh “siapa”(who) yang membawakannya serta “bagaimana”(how) dia membawakannya, “bagaimana” dia bisa menjadi teladan. Ataukah membuang ilmunya hanya karena motivatornya tidak simpatik, kurang ganteng/cantik, intonasi suaranya datar?
- Ikut ber-gossip-ria tentang kehidupannya atau menerapkan ilmu yang telah diberikannya?
Dari kasus ini kiranya kita bisa mempelajari bahwa manusia lebih sering dipengaruhi oleh hal hal yang tidak disadarinya. Manusia lebih digerakkan oleh emosinya dan mem-pensiun-dinikan rasio/logikanya. Rasa bencinya muncul ketika mendengar kisah masa lalu sang motivator. Semua ilmu bermanfaat darinya sirna begitu saja. Potensi untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat ikut lenyap.
Semasih masa sekolah di SMP atau SMA, prestasi belajar murid murid sangat dipengaruhi oleh gurunya. Kalau tidak senang dengan gurunya, nilai pelajarannya jelek. Karena emosinya berkuasa, maka otaknya menutup pintu terhadap ilmu yang diajarkannya. Siapa yang rugi ya?
Rupanya, kebiasaan dikala remaja dulu masih terbawa sampai dewasa, bahkan tua. Kalau cara membawakan materi dari motivator atau trainernya kurang menarik, mereka menjadi kurang tertarik, walaupun ilmu yang diberikan itu sebetulnya sangat bermanfaat. Lagi lagi emosinya lebih berperan dari akal sehatnya.
Itu ‘kan manusiawi…? Benar. Itulah sifat manusia pada umumnya. Tapi manusia manusia yang tidak ‘umum’ tapi special akan bersikap berbeda. Mereka tidak mau terpengaruh oleh “kulit” nya dan fokus pada “isi”nya. Bagaimanapun buruknya motivator/ trainer, selama materi yang diberikannya bernilai tinggi, mereka akan serap habis-habisan.
“Ketika EMOSI berkuasa, maka LOGIKA binasa” (The MindWeb Way)
Artikel terkait:
Polusi Pikiran https://mindwebway.com/?p=1234
Berpikir Minus https://mindwebway.com/?p=1380
Salam Berpikir Tanpa Mikir,
Eka Wartana
Founder The MindWeb Way of Thinking, Penulis Buku Berpikir Tanpa Mikir ala MindWeb- A Thinking Breakthrough, Professional Licensed Trainer (MWS), Praktisi berpengalaman 33 thn dibidang Management