Oleh: Eka Wartana
Ada seorang penjual bubur kaki lima. Karena kesulitan dana, dia meminjam uang dari rentenir. Untung bukan dari pinjol. Dia meminjam Rp 1.5 juta. Dia angsur Rp 60 ribu perhari dari hasil berjualan bubur nya selama 30 hari. Bunga nya 20%! (sebulan)
Di sisi lain, orang berada kalau meminjam uang di bank, bunga nya paling paling sekitar 8-10% setahun.
Dari sudut kemanusiaan kasus diatas terlihat tidak adil, bukan? Kenapa rakyat kecil malah dibebani lebih berat?
Ada beberapa factor yang memengaruhi besarnya bunga. Contohnya: jaminan (pengusaha mempunyai jaminan), risiko (dengan kolateral, risiko diperkecil), prospek bisnis, nilai pinjaman, kondisi ekonomi.
Selayaknya, pinjaman dengan nilai kecil berisiko lebih kecil, bukan? Kenapa bunga nya lebih tinggi? Ya karena factor jaminan itu. Padahal pada kenyataannya, kredit untuk pengusaha besar berisiko lebih besar. Nilai jaminan nya sering ’dipermainkan’ (nilai nya dibuat bengkak).
Dalam pekerjaan bagaimana?
Apakah gaji karyawan harus sama rata? Apakah kenaikan gaji harus sama? Apakah kesempatan promosi harus sama?
Sekiranya gaji diterapkan sama rata, semua karyawan termasuk direksi memperoleh kenaikan gaji yang sama. Misalnya Rp 1 juta atau 10%. Adil kah?
Kenaikan Rp 1 juta terasa tidak fair untuk direksi karena buat mereka nilai nya terlalu kecil.
Tapi kenaikan 10% tidak fair untuk karyawan bawah karena gaji pokoknya lebih kecil. 10% dari nilai kecil (misalnya dari 5 juta: Rp 500 rb) akan jauh berbeda dengan 10% dari nilai besar (misalnya Rp 100 jt: Rp 10 jt). Kenaikan dalam % membuat perbedaan 20x lipat (Rp 500 rb vs Rp 10 juta).
Ada beberapa factor yang menentukan nilai gaji dan kenaikan nya: tanggung jawab nya (posisi nya), prestasi kerja nya (dari hasil assessment), serta factor ‘x’ lainnya (4 ‘ko’: kolusi, koneksi, kompromi, kongsi)
Dari sisi motivasi, penerapan sama rata merugikan. Karyawan bisa tidak termotivasi untuk berprestasi lebih baik. Tentunya wajar dong kalau karyawan yang berprestasi lebih baik (lebih rajin, pintar, kerja keras dan cerdas) mendapat perlakuan yang lebih baik.
Dari sisi fairness, seharusnya semua karyawan diberi kesempatan yang sama untuk berkembang. Tetapi, karyawan yang tidak mampu atau yang tidak mau berkembang, ya harus menyingkir atau disingkirkan.
Dalam kehidupan, sama rata sama rasa juga sering diberlakukan.
Contohnya yang ironi: Para oknum pejabat di organisasi/institusi banyak yang korupsi dan saling berbagi “rezeki”. Mereka ingin supaya sama sama senang dan ‘aman’. Mereka sama sama memiliki musuh besar: orang jujur. Di sini ‘gotong royong’ diterapkan dengan cara yang salah! Demi ‘di sini senang, di sana senang’ Keadilan dibiarkan terbenam.
Apakah ketidakadilan hanya dilakukan oleh oknum pejabat? Kiranya tidak lho. Banyak orang yang berlaku tidak adil dalam kehidupan. Contohnya?
- Membeli barang tanpa mikir, tanpa nawar di supermarket, mall tapi menawar habis habisan ketika belanja di tukang sayur, pedagang kaki lima.
- Pejabat dan orang kaya dihormati, orang kecil diabaikan. “Kado” untuk acara orang besar, nilainya besar. Untuk orang kecil, sekedarnya saja. Hal ini kelihatannya ‘adil’ di mana nilainya disesuaikan dengan penerima nya. Tapi juga tidak adil karena orang kecil membutuhkan lebih banyak dari orang kaya. Ini terlihat relative- contradictive!
- Orang kecil mencuri ayam karena kelaparan, dimasukkan ke penjara. Tapi koruptor besar dibiarkan berkeliaran menikmati ‘harta’ nya. Harta menjadikan oknum koruptor itu berkuasa bak penguasa.
Ketidakadilan juga bisa dilihat dari sikap para oknum politisi yang sering dipengaruhi oleh ego dan keserakahan nya. Berapa banyak kah dari mereka yang turun tangan membantu para korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat? Sepertinya ada motif tertentu dibalik sikap mereka itu.
Demi politik, demi ego, para korban diabaikan saja. Para korban bencana (bukan alam) di sama rata kan dengan ‘musuh musuh’ politik nya. Itu kah Keadilan?
Kesimpulan:
Sama rata tidak selalu berarti adil
Keadilan: Menerapkan segala sesuatu nya secara PROPORSIONAL.
Salam Relative-Contradictive,
Eka Wartana
Founder, Master Trainer, The MindWeb Way of Thinking
Professional Licensed Trainer, MWS International
Author: Relative-Contradictive, Berpikir Tanpa Mikir, To Think Without Thinking, MindWeb
Over 30 years of experience in various managerial positions
Website: www.mindwebway.com
#mindwebway #mindweb #berpikirtanpamikir #ekawartana #relativecontradictive #karyaanakbangsa #interconnection #samarata #keadilan #proporsional







