Cegah TBC-Tanpa Vaksin

Eka Wartana 28/05/2025 0
Cegah TBC-Tanpa Vaksin

Oleh: Eka Wartana

Indonesia Juara II di dunia! India Juara I. Sayangnya bukan prestasi yang patut dibanggakan. Tapi dalam jumlah tertinggi pengidap TBC……

Belakangan ini masyarakat heboh dengan rencana vaksinasi yang disponsori oleh Bill Gates. Sebagian orang percaya, sebagian lagi curiga. Yang percaya kiranya mau menjadi ‘kelinci percobaan’(Guinea pig) untuk vaksin tersebut. India dan Afrika sudah terlebih dahulu menjadi “kelinci”nya….

Kenapa masih diperlukan vaksin baru? Kan sudah ada vaksin BCG pencegah TBC yang sudah dipakai sekitar 100 tahun? Alasannya: 1. Sudah ketinggalan zaman, 2. Hanya efektif untuk anak anak saja, tidak untuk orang dewasa. Konon, BCG tidak cukup untuk mengatasi TBC Laten dan Resisten Obat

Sesungguhnya ada dua cara untuk mencegah penyebaran TBC. Selain dengan vaksinasi (kalau vaksin nya bagus) ada acara konvensional untuk mencegah penularan TBC:

  • mengubah kebiasaan.

Artikel ini tidak membicarakan pro-kontra vaksinasi yang baru. Tapi melihatnya dari point ke dua: mengubah kebiasaan, sikap hidup. Seperti halnya vaksinasi yang masih dalam taraf uji coba, cara ini juga masih menghadapi kendala.  

Salah satu cara mengubah kebiasaan dan sikap hidup: hindari cara makan keroyokan! Lho, kok bisa? Bukan kah bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak bisa bertahan lama di piring atau gelas? Memang betul, penyebaran bakteri TBC tidak menular melalui makanan/minuman. Kalau pun ada sangat kecil kemungkinannya.

Masalahnya bukan di situ. Tapi dari kedekatan peserta makan keroyokan itu lho. Ketika makan makan, orang sering tersedak dan batuk. Di situ lah bakteri TBC menyebar! “Supaya tidak menyebar, pakai masker dong”, komentar orang. Ha ha ha, gimana bisa makan kalau pakai masker….?

Sebisa mungkin, hindari makan keroyokan (istilah Padang nya, bajamba), makan rame rame dari tempat makan yang sama. Anti sosial? Nampaknya seperti itu tapi kalau yang di sosial kan itu bakteri, tentunya malah jadi anti sosial yang lebih parah, bukan?

Kendalanya: Tidak jelas, siapa pengidap TBC diantara sekian banyak orang di sekeliling kita. Hal yang serupa untuk penderita hepatitis. Akibatnya, penyebarannya sangat cepat.

Apakah setiap penderita diharuskan memakai “gelang TBC” untuk menandainya sebagai pengidap? Tentu banyak yang keberatan karena dianggap melanggar hak azasi manusia. (sementara hak azasi orang sehat diabaikan?)

Orang yang tahu dirinya mengidap TBC sebaiknya menjaga agar jangan sampai orang lain tertular. Kalau mau batuk, jauhkan diri dari orang lain. Sayangnya, penderita TBC suka lupa, batuk di mana saja, kapan saja, korbannya siapa saja. Sebagian penderita malah sengaja mencari teman, supaya sama sama kena TBC. Semoga ini tidak terjadi…..

Penulis pernah memuat artikel tentang penyebaran penyakit hepatitis (https://mindwebway.com/2022/05/04/makan-keroyokan-dan-hepatitis/). Melalui makan minum dari alat yang sama termasuk makan keroyokan dari satu tampan, memudahkan penyebaran hepatitis.

Saran untuk rekan rekan:

Kenali rekan kerja atau teman yang mengidap TBC. Kalau tidak tahu, sebaiknya jaga jarak ketika berbicara dengan orang lain. Ini demi keamanan sendiri.

Dari pengalaman saya, ketika berbicara dengan rekan kerja yang terkena TBC, nafasnya berbau khusus. Tapi entahlah apakah semua orang memberi indikasi yang sama…

Sebelum vaksin disuntikkan ke Masyarakat, kiranya bagus kalau Bill Gates dulu yang menjadi Guinea pig nya ya……? Setuju….? Setuju banget!

Salam Relative-Contradictive,

Eka Wartana

Founder, Master Trainer, The MindWeb Way of Thinking

Professional Licensed Trainer, MWS International

Author: Relative-Contradictive, Berpikir Tanpa Mikir, To Think Without Thinking, MindWeb

Over 30 years of experience in various managerial positions

 Website: www.mindwebway.com

 #mindwebway #mindweb #berpikirtanpamikir #ekawartana #relativecontradictive #karyaanakbangsa #interconnection #tbc #vaksinasi #kelincipercobaan

Leave A Response »