Oleh: Eka Wartana
Aneh memang! Ada dua pilihan dalam hubungan kerja seseorang.
Perusahaan memilih kandidat: menerima atau tidak…. Perusahaan akan memilih yang terbaik dari semua kandidat. (atau yang mempunyai koneksi paling kuat dengan ordal, orang dalam)
Kandidat juga memutuskan: mau bergabung atau tidak…. Sepertinya situasi seperti ini sangat langka, ya? Kandidat biasanya mau saja bergabung. Apalagi kalau sudah lama menganggur….
Situasi di atas terjadi ketika dimulainya hubungan kerja. Apa yang terjadi ketika terjadi pemutusan hubungan kerja?
Nah di sini lah terjadi anomaly-nya…..
Dalam rekruitmen, dipilih kandidat yang terbaik. Tapi karyawan yang berprestasi baik ketika resign (mengundurkan diri), hanya memperoleh “Goodbye” saja. Tidak ada pesangon atau tanda terima kasih.
Kandidat yang kurang baik akan ditolak masuk ke perusahaan. Tapi ketika karyawan yang sudah masuk itu ternyata kurang baik, dia diminta berhenti. Lebih dari sekedar kata “Goodbye”dia malah mendapat pesangon! Bisa jadi ini sebagai ungkapan rasa syukur Perusahaan, karena ‘duri dalam daging’ itu sudah pergi….? Sesungguhnya bukan itu, karena itu adalah kewajiban mereka sesuai dengan peraturan perburuhan tentang pemutusan hubungan kerja.
Adil kah perlakuan seperti itu?
Dari satu sisi, memang lebih baik karyawan yang prestasinya buruk secepatnya pergi. Makanya diberi daya tarik ‘uang pesangon’.
Dari sisi lain, sekiranya karyawan berprestasi yang resign diberi pesangon, maka akan banyak karyawan bagus ikut resign….? Kenyataannya tidak seperti itu kiranya. Semuanya tergantung kenyamanan kerja di Perusahaan, tergantung dari career path (jenjang karier) di Perusahaan dan tentunya juga besarnya kompensasinya.
Mendingan dapat yang mana ya: pesangon atau ucapan “Goodbye”?
Ada kah efek negative dari pesangon? Ada juga sih. Karyawan yang prestasinya bagus pun bisa memperoleh pesangon. Caranya? Buat prestasi yang buruk, bersikap buruk, tidak disiplin, dan berbagai sikap buruk lainnya.
Kasih pesangon? Kasih aja. Toh dia bukan lagi karyawan yang baik dan berprestasi. Tapi waspadalah dengan preseden-nya. Karyawan lain akan ikut ikutan berlaku seperti itu. Kalau itu yang terjadi, atasannya lah yang dikasih pesangon, disuruh mundur!
Bagaimana kalau hal itu menyebabkan preseden buat para atasan? Semua atasan mengharapkan pesangon? Owner-nya yang perlu di PHK…..? Lalu siapa yang membayar pesangon buat si owner…? Ribet jadinya, bukan?
Dalam kasus seperti diatas, masalah utamanya adalah motivasi yang rendah. Dengan level motivasi yang baik, dengan suasana kerja yang nyaman, kompensasi yang cukup maka dua hal pokok bisa dihindari:
- Tidak perlu ada pesangon, tidak perlu mem-PHK karyawan karena prestasi dan perilaku yang baik serta integritasnya yang tinggi.
- Tidak ada karyawan bagus yang berhenti karena employee satisfaction yang tinggi di Perusahaan.
Tidak ada lagi yang ngarepin pesangon…
Kalau sudah begitu, sesungguhnya artikel ini tidak perlu ada, bukan? He he he…..
Salam Relative-Contradictive,
Eka Wartana
Founder, Master Trainer, The MindWeb Way of Thinking
Professional Licensed Trainer, MWS International
Author: Relative-Contradictive, Berpikir Tanpa Mikir, To Think Without Thinking, MindWeb
Over 30 years experience in various managerial positions
Website:www.mindwebway.com
#mindwebway #mindweb #berpikirtanpamikir #ekawartana #relativecontradictive #karyaanakbangsa #interconnection #pesangon #goodby